smangaat.com – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebut ada oknum yang menyerang pasar minyak goreng yang dinilai pemerintah untuk dijual kembali menjadi CPO dengan harga global.
Pelaku industri minyak goreng menemukan cara lain penyalahgunaan minyak goreng yang menjadi penyebab kelangkaan komoditas ini diwaspadai. Para pelaku membeli minyak goreng dengan harga pemerintah untuk dijual kembali sebagai bahan alami untuk industri pengguna minyak sawit mentah (CPO).
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebut ada oknum yang menyerang minyak goreng milik pemerintah saat diedarkan oleh distributor milik negara di pasar tradisional. Minyak goreng tersebut kemudian diusulkan ke produsen yang menggunakan CPO sebagai CPO atau stearin.
“Itu terjadi di 543 kabupaten/kota di Indonesia. Mereka tidak pernah lagi menjualnya melalui minyak goreng karena akan ditangkap, jadi diucapkan (as) CPO atau stearin,” kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga, Senin (14/3).
Sahat mengatakan, individu membeli minyak goreng sebagai hasil dari strategi DMO (domestic market commitment) dengan HET dan menjualnya menjadi CPO dan stearin berdasarkan harga pasar. Dari kegiatan ini, mereka mendapatkan normal edge sebesar Rp. 8 ribu untuk setiap liter.
Menurutnya, produsen yang menggunakan CPO tidak bisa disalahkan karena tidak ada aturan yang melarang. Selain itu, Sahat menilai belum ada pedoman yang mengatur bahwa migrain tidak bisa dinyatakan sebagai CPO atau stearin.
“Distribusi TKI bocor karena dibeli dan diumumkan sebagai CPO. Tidak ada aturan yang melarang warna biru (migor) menjadi hijau (CPO),” kata Sahat.
Sahat menilai pelatihan ini muncul karena adanya disparitas biaya antara CPO domestik dengan CPO dunia. Menurutnya, disparitas nilai biasanya menjadi pemicu munculnya pasar gelap, seperti yang terjadi pada industri kelapa sawit saat ini.
Kementerian Perdagangan telah menyalurkan 415,78 ribu ton atau 519,73 juta liter migran dari 38 produsen transien ke pasar atau 72,45% dari DMO yang disimpan oleh otoritas publik. Sementara konsumsi masyarakat pendatang setiap bulannya baru mencapai 327,32 ribu ton.
DMO merupakan prasyarat bagi eksportir CPO dan turunannya untuk mendapatkan izin produk. Sejak 14 Februari hingga 8 Maret 2022, Kementerian Perdagangan mengeluarkan 126 izin kirim CPO dan turun 2,77 juta ton untuk 54 eksportir CPO.
Kementerian Perdagangan mencatat bahwa empat produsen transien telah mendistribusikan 268,37 juta atau 51,63% dari total migran yang didistribusikan. Keempat produsen tersebut adalah Wilmar Group (99,26 juta liter), PT Musim Mas (65,32 juta liter), PT Smart Tbk (55,18 juta liter), dan Asian Agri (48,59 juta liter).
Sahat mengusulkan skema eksekutif kelangkaan sakit kepala lainnya kepada otoritas publik. Skema yang disinggung Sahat adalah bantuan langsung nontunai khusus untuk pembelian tenaga kerja musafir dengan skema kartu bagi individu bergaji rendah (MBR).
Ia menyebut skema itu Dana Tunjangan Mahal Minyak Goreng atau DTKM. Sahat mengatakan skema ini merupakan hasil dari penerimaan kebijakan pemerintah Malaysia terkait pergerakan harga dan telah disesuaikan dengan kebijakan pemerintah Indonesia.
“Kementerian Perdagangan tidak setuju, jadi kami akan menyurati Presiden jika mayoritas terpenuhi. Yang di lapangan lebih pintar, bisa kewalahan dengan kartu DTKM,” kata Sahat.
Sahat menyarankan, sumber subsidi ini berasal dari bea keluar atas CPO. Sahat menetapkan kewajiban produk yang diharapkan negara hanya sekitar US$ 57 per ton, sedangkan kewajiban komoditas saat ini US$ 200 per ton.
Menurutnya, pemotongan bea masuk produk pada April-Juni 2022 dapat memenuhi rencana pembiayaan subsidi dengan skema Kartu DTKM. Untuk sementara, penyaluran dana akan diselesaikan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) setelah membantu Badan Pengatur Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).